Cinta Datang Di Akhir Penyesalan
Sebelum saya mulai menulis cerita pendek ini, adalah hal yang baik jika terlebih dahulu saya memohon maaf kepada para pembaca bila ada kesamaan kisah, nama tempat, dan nama tokoh. Cerita pendek ini hanya karangan fiksi semata, sebagai hiburan, perenungan atau pengisi di waktu luang para pembaca yang budiman.
Mari kita mulai
Sepertinya langit ikut berduka cita, di atas pusaran gundukan tanah pemakaman seseorang, pemuda itu menangis sejadi-jadinya, seakan lebih lemah daripada perempuan, dan lebih penakut daripada bocah, dagu tertunduk layu, tangan kanan memegang batu nisan yang masih baru, sedangkan tangan kiri memukul-mukul dadanya. Apa gerangan yang terjadi padanya?........
Garut 1999, 6 bulan sebelumnya
Tersebutlah seorang pemuda tampan dengan perawakan yang terkesan saling bekerja sama untuk melengkapi pesonanya sebagai seorang pemuda desa, namanya Muhammad Rehan biasa disapa Rey oleh teman-teman mainnya. Rey merupakan anak semata wayang dari pasangan Ibu Hajah Sofi dengan Pak Haji Solihin. Usia Rey sudah 25 tahun, dia bekerja sebagai seorang guru pendidik di salah-satu SMP tempat dulu ayah ibunya sekolah.
Di suatu pagi yang cerah, dimana penghuni rumah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, Rey sibuk dengan persiapannya untuk pergi ke sekolah, ayahnya sibuk menyiram bunga dan beberapa tanaman cabe dan tomat, sedang ibunya sibuk memasak nasi goreng untuk sarapan pagi.
"Nak, yaaah, sarapan paginya sudah siap" sahut ibu dari dapur
Selang beberapa menit Rey dan ayahnya bersamaan tiba di dapur, menduduki kursi meja makan masing-masing. Mereka bertiga sarapan bersama dengan penuh rasa bahagia. Ditengah-tengah sarapan, ayahnya Rey berkata, "Hari minggu pagi kita akan kedatangan tamu, teman lama ibu, sudah sekian puluh tahun tidak berjumpa, baru bulan kemarinlah pas ayah dan ibu ibadah haji berjumpa kembali, kamu, nak, kalau ada acara dipending dulu", "Iya, dipendinglah dulu, nak, sekalian ada yang ingin kita bicarakan nanti" timpal ibu, "Baik ayah, baik ibu, kebetulan hari minggu acaranya juga sore, biasa main bola bareng teman-teman." Tutur Rey sambil sedikit tersenyum tanpa banyak berpikir dan penuh rasa curiga.
Hari berlalu tibalah hari minggu, pagi menyapa keluarga Rey dengan udara yang masih segar, suara burung berkicau, ibu-ibu tetangga terlihat sedang menyapu di halaman rumahnya masing-masing, anak-anak mulai keluar dengan perlengkapan bahan mainannya masing masing untuk sekedar mengisi hari libur sekolah, ada yang bawa karet, ada yang bawa papan ludo, ada yang bawa kelereng, ada juga yang bawa gambar.
Ibunya Rey terlihat sedang sibuk menata ruangan tamu dengan dibantu oleh suaminya, Rey sendiri membersihkan halaman rumah dan kamar tidurnya. Makanan dan beberapa minuman pembuka sudah siap sedia untuk dihidangkan ke tamu yang dianggap istimewa. Rumah dengan segala ruangan sudah tertata rapih, makanan sudah siap sedia, tinggal menunggu kedatangan sang tamu, begitu adanya.
Jam dinding menunjukan pukul setengah sembilan pagi, Rey beserta Ibu dan Ayahnya sengaja menunggu di teras rumah bagian depan untuk menyambut kedatangan sang tamu, dari kejauhan nampak mobil avanza berwarna hitam, "Naaaah akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Nak, kamu masuk kedalam lalu makanan dan minuman yang ada di dapur segera dibawa dan tata di meja ruang tamu, ya," suruh ibu, Rey mengangguk dan langsung melakoni titah sang ibu.
Tamu yang ditunggu-tunggu telah datang. Sebagaimana biasanya, kawan sejak kecil sudah lama tak jumpa, di dalam ruangan tamu, sambil makan-makan sambil ngobrol ngalor ngidul sekedar mengenang masa lalu persahabatan ibunya Rey selama sekolah sekaligus mondok. Rey sendiri hanya ikut senyum-senyum seperti putri semata wayang kawan ibunya Rey, namanya Nabila Syifa Azahra. biasa disapa Syifa, usianya dua tahun dibawah Rey.
Hingga sampai pada intinya, setelah makan bersama, Ibunya Rey membuka pembicaraan, "Rey, ibu mau bicara. dulu ibu dan kawan ibu yang satu ini (sambil mengusap lutut kawannya) mengikat janji saat masih sekolah dan mondok, kami mengikat janji kalau panjang umur dan dapat anak yang pas untuk dijodohkan, siap untuk jadi keluarga besanan, ibu harap kamu mengerti dan ibu pikir nak Syifa juga sangat cantik, baik lagi, pasti rumah tangga kalian bersahaja." Mendengar penuturan sang Ibu, Rey yang tersohor anak taat, tak bisa bicara apa-apa, meski dalam hati amat berat, pasalnya di sekolahan tempat mengajar, Rey terpincut oleh seorang Guru bernama Bu Nisa Salsabila yang memang secara rupa lebih cantikan dia dibanding Syifa. Rey diam seribu bahasa hanya melempar senyum sekedar memberi kesan malu-malu, begitu juga dengan Syifa, diam tertunduk. "Ada baiknya, kita biarkan berkenalan saja mereka berdua ya, jeng" ucap ibunya Syifa, "Naah itu lebih bagus, biar sama-sama saling mengenal dulu, agar semakin saling mengerti dan memahami" jawab ibunya Rey. Rey semakin merasa berat hati, tapi apa daya dan harus bagaimana. "Kami sangat setuju, sambil mengacungkan jempol" timpal ayahnya Rey. Semakin beratlah hati Rey, yang dikira sang ayah bisa jadi bahan aduan keberatan hatinya.
Cinta memang soal hati, begitu kata para bijakbestari, namun para bijaksana yang lain bertutur kata bahwasanya cinta bisa lahir karena sering bersama. Entahlah, cinta memang kadang rumit untuk dijelaskan secara logika, semua manusia mempunya cerita dengan cintanya, ada yang begitu duka ada pula yang begitu berbahagia dengan kisah cintanya. Sepertinya memang benar adanya, cinta layaknya pelaku perubahan, bisa membuat seseorang senang di lain waktu bisa membuat orang terluka menderita tanpa berkesudahan.
Hari hari berlalu, berganti minggu, minggu berlalu berganti dengan bulan, seperti sang semesta memberi kabar, siap atau tidak, mau atau tidak, suka atau tidak kehidupan akan terus berjalan tanpa banyak berkompromi dengan manusia.
Dari awal berjumpa, Rey memang sudah berat hati untuk menerima dan melakoni titah sang Ibu ditambah sang ayah juga sangat mendukung. Komunikasi Rey dengan Syifa begitu saja dari hari ke hari seperti tak mengubah apapun , sewaktu waktu Syifa sering mengajak bertemu sekedar memberi saran untuk bicara jujur pada orang tua Rey, meski Syifa sendiri sudah ada benih-benih cinta pada Rey. Namun di sisi lain Syifa menyadari dan telah mengetahui bahwa dalam hati Rey sudah ada perempuan lain. Tak jarang perlakuan cuek Rey pada Syifa membuat Syifa menangis, baik kalau bertemu atau hanya sekedar chatingan, bahkan, pernah di suatu senja, saat Rey di suruh ibunya untuk mengantar pulang Syifa, ditengah perjalanan Rey mendadak berhenti dan tiba-tiba berkata sinis, "Aku kalau tak melhat ibu dan ayah, tak sudi menikah denganmu, kalapun kita menikah itu bukan karena aku mencintaimu, melainkan karena aku masih menjaga perasaan orangtuaku" Seperti ditusuk-tusuk jarum, Syifa menjerit dalam hati, menahan air mata yang hendak berontak keluar, tak bisa bicara sama sekali. Secara bersamaan pula, saat dimana Rey dan Syifa komunikasi chatingan, secara diam-diam Rey sering komunikasi dengan Nisa perempuan yang sangat Rey inginkan.
Hingga pada suatu hari di musim kemarau, Syifa jatuh sakit, kata dokter kanker paru-parunya semakin tidak membaik, penyakit meningitisnya juga semakin parah, "Apakah nak Syifa punya masalah kehidupan yang berat bu? tanya sang dokter, "tidak sama sekali pak, anak kami sangat bahagia, selalu melempar senyum bahagia pada kami sebagai orang tuanya," Dibanding Rey, Syifa lebih pandai bersandiwara di hadapan orang tunya Rey dan orang tuanya sendiri, sekedar untuk memberi kesan bahwa hubungan komunikasi mereka baik dan lancar.
Mendengar kabar Syifa, kedua orag tuanya Rey hawatir dan tak jarang sering jenguk ke rumah sakit. Rey sendiri, ada diantara punya rasa sedikit lega dan bersalah karena mengira sebab sikapnya Rey akhir-akhir ini yang mulai keras membuat Syifa jatuh sakit, ditambah kaget karen baru tahu Syifa yang selama ini terlihat baik baik saja ternyata punya penyakit parah. Tapi, tetap saja meski demikian tak mengubah sikapnya sama sekali, Rey terlihat acuh tak acuh di belakang layar. Malah fokus saling balas chat dengan Nisa.
Hampir mau satu bulan berlalu, Syifa belum bisa dibawa pulang, hanya berpindah-pindah pengobatan dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, selama itu juga Rey malah menjadi-jadi dengan Nisa, apapun yang Nisa inginkan selalu Rey kasih, entah itu waktu, tenaga, termasuk materi. Semakin jatuh hati semakin tergila-gila Rey dengan sosok perempuan yang dipercaya akan balik mencintai. Namun, semua perasaan itu berubah, ketika di suatu hari, sore menjelang Maghrib, saat Rey pulang menjemput ibunya dari rumah sakit, ditengah perjalanan, Rey melihat Nisa sedang berjalan berdua dengan laki-laki lain, berpeluk mesra, saling menyuapi eskrim. Selama ini Rey tidak tahu, bahwa dibelakang, Nisa sudah lama menjalin hubungan dengan seorang lelaki kaya bernama juragan Andi, saudara kawan mainnya Rey.
Setibanya di rumah, Rey masuk kamar dan mulai menghubungi Nisa untuk minta penjelasan atas apa yang Rey saksikan tadi, ditelphon tak diangkat-angkat, di kirim pesan tak dibalas hanya dibaca, hingga akhirnya ia membalas dengan untaian pesan, "Bisa sabar gak kamu? kamu itu siapa? hubungan aja belum, lagian aku tu ya tak pernah mengawali menghubungi kamu baik chatingan atau telephonan, tak pernah juga minta ini dan itu, semua yang kamu beri itu kan karena kamu yang menawari, gak menerima dan merasa harus dikembalikan? rugi berapa ratus ribu biar aku kembalikan duitnya." membaca pesan demikian, Rey semakin terpukul, merasa tak percaya dengan kenyataan yang menimpanya, perempuan yang sangat dia sayangi ternyata malah menyakiti, sedangkan Syifa perempuan yang sangat penyabar dan sangat mencintai sekian kali Rey sakiti dengan sikapnya selama berkomunikasi.
Rey diambang perasaan yang smerawut, dalam benaknya terbayang anatara sosok Nisa dan Syifa, mengingat kembai pertama ia berjumpa dengan Syifa, mengingat kembali bagaimana sikap Syifa dalam menghadapi sikap Rey yang super cuek dan kadang menyakitkan, hingga terbukalah mata hati yang tertutup rupa dalam mencintai sang hawa, cahaya kesadaran mulai memberi pesan melalui air mata, ia kembali membuka pesan-pesan lamanya dengan Syifa, dia menangis semakin menjadi-jadi hingga tangisan itu berhenti karen teriakan histeris sang ibu mendengar Syifa telah meninggal.
Tanpa berfikir panjang, Rey dan kedua orang tuanya kembali ke Rumah Sakit untuk melihat tubuh yang kini terbaring kaku, terbungkus kain putih tanpa saku, tanpa warna warni, tanpa membawa bekal harta sepeser pun, nampak wajah pucat pasi Syifa yang kini tak bernyawa, semakin sakit dan terpukul hati Rey, ia menangis tak berhenti hingga menjelang pagi, hingga menjelang dikebumikannya mendiang Syifa, perempuan yang sering Rey sakiti, perempuan yang sabar dan penuh sopan santun dalam menghadapi lelaki seperti Rey sendiri. Hingga akhirnya, sudahlah, kini seorang Syifa tak dapat lagi telihat oleh mata, tak dapat lagi hadir sebagai orang yang sering dimarahi karena kekeselan Rey, semua telah terjadi dan takkan kembali. Kecuali kenangan yang akan menemani.
Sepertinya langit ikut berduka cita, di atas pusaran gundukan tanah pemakaman seseorang, pemuda itu menangis sejadi-jadinya, seakan lebih lemah daripada perempuan, dan lebih penakut daripada bocah, dagu tertunduk layu, tangan kanan memegang batu nisan yang masih baru, sedangkan tangan kiri memukul-mukul dadanya. Tangan-tangan melambaikan selamat tinggal, namun tangan-tangan di hati melambai untuk tetap tinggal.
Duh, siapa lagi kini pelipur lara?
duh, siapa lagi kini pahlawan di hati?
Greget banget aku bacanya Kerenn..