Sudahlah! Biarkan Waktu Yang Menjawabnya
Juni 1994
Pada suatu malam di musim hujan. Sudah satu minggu aku sendiri dirumah, ibu pergi jenguk adiknya yang paling bungsu, mau melahirkan anak pertamanya katanya. Diluar suara air hujan yang terbawa angin terdengar begitu gemuruh, seakan-akan membentuk suatu nada irama yang tidak beraturan di atas genting rumah “kiranya sudah berapa lama aku tidak melihat kunang kunang, kemana yaa mereka ? apakah mereka sudah punah, atau hanya disini saja yang tidak ada ?" gumam hatiku.
Semakin malam hujan semakin reda, suasana begitu sepi, saking sepinya sampai sampai suara daun yang berjatuhan oleh angin dan suara jangkrik yang saling menyahut satu sama lain terdengar jelas oleh telingaku. Cuaca dingin, terkadang terdengar suara petir yang samar-samar, sempurna sudah saling melengkapi di malam minggu yang lumayan kelabu. Tiba tiba handphoneku berbunyi memecah kesunyian, aku setengah kaget karena begitu asyiknya dalam lamunan. Aku lihat ada pesan dari Dyana, “Fay, kita bisa bertemu gak besok pagi jam sembilanan? ditempat biasa kita nongkrong bareng anak anak, tapi hanya kita berdua! ada yang mau aku omongin”. Karena aku pikir besok gak ada aktivitas yang begitu penting, aku membalas dengan mengiyakan.
Tidak seperti biasanya teman aku yang satu ini chat malam malam, ada apa ya kira kira, soalnya di akhir pesan dia hanya membalas dengan emoji sedih, membuat aku penasaran saja. Aku berpikir emoji juga merupakan bahasa, raut muka seseorang adalah bahasa yang terselubung, begitu kata mereka yang ahli di bidang bahasa tubuh. Ahhhh ya sudahlah, aku kembali menyempurnakan malam minggu kelabu dengan meneruskan lamunan yang sempat tertunda.
Apakah benar seseorang perlu kopi untuk membuat puisi ? saya kira tidak selalu perlu kopi untuk berpuisi, sepi pun jadi lah untuk merangkai bait bait puisi. Apalagi kalau patah hati dan merindu pada seseorang yang dijadikan ratu atau raja dihati.
Malam ini aku terjaga, mataku susah sekali untuk dipejamkan. Berbagai cara sudah aku lakukan supaya bisa tidur, membaca buku, nonton film di laptop, berbaring memejamakan mata sambil mendengarkan musik musik instrument klasik penggiring tidur tapi, tetap saja tidak berpengaruh sama sekali. Pikiranku penat, penuh dengan sesuatu yang smerawut dan bayangan tidak beraturan, tak bisa berhenti untuk berfikir “apakah ini yang dikatakan oleh paman, bahwa resiko belajar filsafat itu otak manusia takkan bisa berhenti berfikir” apalagi aku yang masih muda dan rasa ingin tahuku memang terbilang lumayan parah, hal kecilpun dipikirkan secara mengakar. Aku coba meditasi malah semakin menjadi, otakku mengalami stagnasi perlawanan, “ya Tuhaaaan ada apa dengan otakku ini” gertak hatiku”. Sejak aku mulai mengenal filsafat aku susah tidur, pikiranku tidak bisa berhenti berfikir, ketika mandipun aku sudah tidak bisa merasakan sejuknya air membasahi tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Terbesit, mungkin aku harus makan sampai lesu baru bisa tidur, aku segera turun ke dapur rencana masak mie dicampur telur sebanyak mungkin, sepertinya dengan banyak makan sampai perut kenyang aku mulai bisa tidur.
Bunyi alaramnya sangat menggangu, aku rasa aku belum puas tidur, mataku masih belum mengizinkan untuk ku buka. Aku kembali tidur, selang beberapa menit bunyi alarm kedua menggangu telingaku lagi, aku mulai bangun duduk diatas kasur tanpa membuka mata, pikiranku belum normal gak ingat apapun, aku enggan untuk membuka mata, aiiiiih sialan sinar matahari memang menyakitkan bagi siapa saja yang matanya sudah terbiasa dalam gelap. Aku mencoba sedikit membuka mata, mengontrol hati dan pikiran. Aku tak ingat tadi malam tidur jam berapa, entah datang dari mana ide tadi malam, tapi cukup berhasil juga dengan perut kenyang bisa mempercepat ngantuk menjemput. Satu hal yang segera aku ingat bahwa Dyana minta untuk ketemuan jam sembilan pagi ini, aku mulai meraba raba mencari hp ku, dapat, dan ku lihat jam sudah pukul berapa “arghhh sudah jam sembilan lewat” 5 panggilan dari Dyana tak terjawab, aku segera mengirim pesan “Na maaf aku baru bangun tidur, tadi malam susah tidur, kamu masih ditempat biasa kita nongkron kan ? aku segera kesana”. Tidak menunggu lama satu menit kemudian Dyana membalas dengan emoji senyuman dengan tatapan kosong dan pesan “Iya ini aku masih ditempat, cepatlah dari tadi aku nunggu kamu”.
Pesannya aku abaikan. Aku segera ke kamar mandi, bukan utuk mandi melainkan hanya untuk sekedar cuci muka dan gosok gigi, karena aku perkirakan kalau mandi kasian juga si Dyana nunggu lama, belum lagi lama perjalanan menuju tempat yang biasanya memakan waktu 20 menitan. Aku menatap wajahku dicermin kamar mandi, olallaaa ternyata aku memang lebih pantas berambut gondrong dan berkumis tebal ‘‘kata hatiku dengan bibir yang tersenyum sinis”. cuci muka sudah, gosok gigi sudah, aku mulai mengunci semua pintu dirumah, aku juga orangnya eksentrik begitu kata kawan kawan, tidak terlalu memperhatikan penampilan. Saat aku keluar rumah hmmmmmm suara burung dibawah langit biru pagi, udaranya yang begitu segar dan titik-titik air embun di taman bunga milik almarhumah nenek sangat menyegarkan. Aku mulai naik motor dan sebentar aku panaskan, selang beberapa menit aku mulai tancab gas berrrrrrrrr.
Sepanjang perjalanan mataku dimanjakan oleh pemandangan kebun teh milik peninggalan al marhum kakek dari bapak, bukit yang masih perawan belum ada borok sama sekali akibat penebangan kayu secara liar, yang paling memanjakan adalah rombongan ibu ibu juga para gadis desa dengan has penampilannya yang menunjukan kedesaaannya. “Ahhhhh pedesaan memang tempat yang cocok untuk menghabiskan masa masa tuaku dengan orang yang aku cintai, tapi siapa ?.....”.
Sampaliah aku ketempat biasa nongkrong, Dyana sudah terlihat, sepertinya dia mulai bosan menunggu, ku lihat hanya duduk duduk melamun sambil melempar lempar batu krikil ke danau.
“Hai Na, sorry aku terlambat, aku kesiangan soalnya tadi malam susah banget ini mata untuk bisa tidur” ucap aku sambil telunjuk jari mengarahkan kemata sebelah kananku.
“iya gak apa apa," jawab Dyana dengan nada setengah hati
Dyana mulai menatapku dengan matanya, sinar matanya bening dan memancarkan cahaya ke malangan, seakan akan matanya membuka cerita yang penuh dengan luka, air mataya mulai mentes berderai membasahi pipinya yang lesung sontak dia langsung meluk aku dengan menangis sejadi jadinya. Ada apa ini, kenapa Dyana sampai begini. Aku tidak bisa bicara apa apa, tanganku gemetaran, seumur hidup baru kali ini aku dipeluk perempuan lain, biasanya aku hanya mendapatkan pelukan hangat dari kedua orang tuaku.
“Angga kenapa ini terjadi kepadaku, apa salahku, apa dosaku?" tutur Dyana di sela sela tangisannya ?...
“apa yang terjadi padamu sebenarnya ? jarang jarang kamu seperti ini ? ada yang melukaimu ?
“Fatih ngga, Fatih mutusin dan ninggalin aku dengan wanita pilihan orang tuanya”.
Aku coba tenangin Dyana, aku bawa duduk di saung dekat danau, aku coba bawa bicara baik baik “apa pesan terakhir dari fatih untukmu, Na ?"... Dyana tidak menjawab hanya memberikan satu lembar kertas berisi surat dari fatih
“Maafkan aku, mungkin seharusnya kita tidak ditakdirkan bertemu dipesta 3 tahun lalu, aku harap kita berdua bisa saling memahami keadaan keluarga masing masing. aku tidak pernah menyalahkan sebuah perpisahan, aku hanya menyesal kenapa kita dipertemukan kalau akhirnya seperti ini, selama kita menjalin hubungan asmara, aku tau aku selalu mengekang kamu, seakan akan kamu adalah burung merpati yang indah yang hidup terkekang dalam sangkar, apa yang telah kita lalui selama ini aku harap tidak membuat kita putus asa akan masa depan, aku berat aku tidak berdaya di hadapan orang tua, aku dan kamu adalah dua insan yang saling mencintai namun tak mendapat restu dari kedua orang tua kita masing masing, mungkin bumi tidak merestui kita untuk bersama. Terkadang budaya, agama, adat dan status sosial menjadi penghalang bagi siapa saja yang sedang merajut cinta kasih. Maafkan aku dan lupakan aku. Diluar sana aku yakin ada seseorang yang lebih pantas untuk bisa membahagiakan kamu, aku sendiri tidak tau apakah aku akan bisa bahagia hidup bersama dengan wanita yang tidak aku cintai”
Setelah aku baca surat dari fatih, aku menatap Dyana yang masih menangis. Dari sejak SMA aku berteman dengan dia, Dyana orang yang lugu dan polos, dia tidak suka banyak bicara, dia juga tidak suka berbagi hal yang duka, dia lebih suka memendam dan menyimpan cerita lukanya. Aku coba berkata pada dia
“Sebenarnya aku sudah lama mengetahui kisah kalian NA, tapi mau bagaimana lagi, aku mau ikut campur takut salah kaprah, manusia memang kadang tidak berdaya dihadapan perasaan. Hati seorang yang penuh dengan cinta yang berbunga bunga kadang lupa akan resiko dari cinta itu sendiri. rindu, cemburu, benci dan perpisahan adalah bingkai dalam cinta dan kasih sayang itu sendiri, ada satu hal bagiku Na, satu hal yang nyata adanya tapi tak sedikit manusia tak berdaya dihadapannya, adalah itu sebuah perpisahan, mungkin bukan karena perpisahannya melainkan karena kenapa perpisahan itu terjadi yang membuat manusia sedih berlarut larut. Kenangan kadang melumpuhkan jiwa seseorang. Sudah, jalani semua ini, kita hanya perlu membiasakan diri dengan suka dan duka, semua tidak ada yang abadi, kesenangan hari ini bukan berarti esok hari kita akan senang, begitu juga kesedihan hari ini bukanlah berarti esok hari kita akan bersedih”.
“Lihat ini !! potong Dyana sambil memperlihatkan cincin padaku, ini milik fatih yang pernah ditunjukan pada orang tuaku sebagai tanda keseriusannya, orang tuaku tidak menggubris kesungguhan fatih, aku sakit aku luka semua rasa bercampur aduk menyelimuti hatiku yang rapuh ini," Dyana menangis dan menutup muka dengan dua telapak tangannya”
“lihat ini !!! aku berjalan dan menunjuk pada pohon yang sudah mati, pohon ini telah layu dan mati namun kehidupan baru tumbuh di atasnya. Kau bisa seperti ini, turunkan dan lepaskan bebanmu lepaskan keterikatanmu dan larilah menuju kehidupan baru. Masa lalumu adalah pelajaranmu dan seharusnya tidak menjadi bebanmu. Aku tau ni soal perasaan, mungkin lebih sulit dalam menghadapinya”
Aku memberanikan diri untuk mengusap air matanya, aku genggam kedua tangannya seraya berucap, “Sudah, biarlah waktu yang akan membimbing kamu bagaimana cara mengatasi permasalahan ini, bukankah kita punya keinginan yang selama ini bareng anak anak sering dibicarakan di saung ini, Dwi, Suta, dan kita berdua sepertinya masih panjang perjalanan, nasib manusia itu kalau tidak meninggalkan ya ditinggalkan”. Ayo kita pergi makan, sudah siang sepertinya kamu belum sarapan tadi pagi, aku juga sama.
Aku ajak Dyana untuk makan, soalnya kami berdua sama sama belum sarapan pagi, setelah beres makan aku antar pulang Dyana kerumah orang tuanya. Sepertinya dia sangat terpukul dengan kejadian ini, bagaimana tidak, 3 tahun lamanya Dyana dan fatih sama sama memperjuangkan cinta mereka, sama sama saling menguatkan diri atas sikap orang tua mereka masing masing, kandas mau bagaimana lagi kalau takdir berbicara lain, sekuat apapun manusia menggenggam kalau bukan miliknya ya pasti akan terlepas.
🆒