Baru baru ini kita sering mendengar isu terkait tapering di Amerika. Isu isu liar terkait dampak dari tapering ini juga berseliweran di beberapa grup crypto. “November Tapering, siap – siap BTC ke 10K” atau “Gak mungkin BTC bisa ke $100,000 tahun ini, soalnya ada tapering”. Memangnya apa sih tapering? Segitu dahsyatnya kah sampi bisa mengirim BTC kembali ke 10K? Apakah benar tapering ini penghalang terbesar bagi BTC untuk mencetak $100,000 tahun ini?
Pada tulisan ini, SharingCrypto akan coba mengulas sedikit terkait tapering dan apa sih pengaruh tapring terhadap investasi kita secara historis. Seperti tulisan sebelumnya, bukan SharingCrypto namanya kalau tidak membahas secara lengkap dari awal. Tulisan ini sebenarnya adalah part two dari tulisan sebelumnya. Awalnya SharingCrypto ingin menggabungkan kedua tulisan tersebut, tetapi karena terlalu panjang, jadi terpaksa dibagi menjadi dua bagian.
Ok, sebelum kita bahas soal tapering, pastikan kalian sudah membaca bagian pertama tulisan ini, disini. Pada bagian pertama tersebut, SharingCrypto membahas mengenai apa itu ekonomi dan bagaimana ekonomi bekerja. Pemahaman akan ekonomi ini amat penting jika kita mau mendapat gambaran utuh terkait tapering, karena percaya atau tidak, tapering ini hanya bagian kecil dari kegiatan ekonomi di suatu negara. So pastikan sudah baca bagian pertama sebelum lanjut ya. Sudah? Ok gas keunnn....
Tapering
Pada tulisan pertama kita sudah memahami terkait Quantitative Easing (QE), nah untuk tapering sendiri sebenarnya kebalikan dari QE. Mirip seperti inflasi – deflasi, ekspansi – resesi, disini kita punya pasangan lain yaitu QE – tapering.
Mengutip definisi dari investopedia, tapering adalah pengurangan pembelian aset baru oleh bank sentral dibawah kebijakan QE. Tapering adalah langkah pertama dalam proses penghentian—atau penarikan sepenuhnya—program stimulus moneter yang telah dijalankan.
Ketika bank sentral menerapkan kebijakan ekspansif untuk merangsang ekonomi dalam resesi, bank sentral akan berusaha untuk menarik kembali stimulus yang telah mereka berikan setelah ekonomi pulih. Hal ini perlu dilakukan karena jika resesi sudah selesai dan ekonomi terus dirangsang menggunakan uang stimulus, hal ini dapat menimbulkan inflasi yang tidak terkendali bahkan bubble. Inflasi yang tidak terkendali tentu akan menyebabkan masalah baru, sehingga harus dicegah sesegera mungkin.
Sebagai contoh, hingga Agustus 2021, pemerintah AS telah membeli aset senilai $120 miliar setiap bulan dalam upaya membantu pemulihan dari pandemi virus corona. Program pembelian yang sudah dimulai sejak Maret 2020 ini dinamakan QE, dan ketika pemerintah AS mulai mengurangi pembelian aset, katakanlah dari $120 miliar per bulan menjadi $100 miliar perbulan, pengurangan inilah yang dinamakan tapering.
Cara bank sentral melakukan tapering dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu dengan mengurangi jumlah total pembelian aset setiap bulan, seperti dicontohkan sebelumnya, ataupun dengan tidak melakukan re-investasi terhadap aset yang sudah jatuh tempo. Walaupun pengurangan aset dapat juga ditempuh melalui penjualan aset, tetapi dalam konteks tapering, pengurangan ini lebih merujuk kepada dua cara yang disebutkan sebelumnya.
Sampai disini kita sudah paham ternyata tapering itu hanya upaya menyetop stimulus yang diberikan saat krisis, karena ekonomi dinilai sudah membaik. Lalu apa sih dampaknya tapering ini dengan investasi kita? Untuk masa depan tentu saja tidak ada yang tau, tapi kalau kita bicara masa lalu ada beberapa hal yang kita bisa pelajari. Sejarah tidak berulang, tetapi sering kali berirama – Mark Twain.
Sejarah Mengungkapkan Tapering Adalah Kegiatan Teoretis
Sejarah menunjukkan bahwa bank sentral Amerika Serikat (The FED) dan bank sentral lain sejauh ini terbuki tidak mampu atau tidak mau untuk melakukan tapering berkelanjutan apalagi menarik kembali secara total seluruh stimulus yang sudah diberikan.
The Fed A.S., Bank of England, European Central Bank, Bank of Switzerland, dan Bank of Japan semuanya telah mengusulkan atau mencoba untuk mengurangi atau melepaskan kebijakan QE mereka, tetapi pada akhirnya mereka tetap memperbarui dan mempercepat pembelian aset dan terus memperbesar neraca mereka.
Bank Sentral Swedia, Sveriges Riksbank, adalah salah satu contoh sukses dalam melakukan tapering dari tahun 2010 hingga 2011. Tetapi mereka terus memperbesar neraca mereka sejak 2011 dan kini neracanya malah hampir dua kali lipat dibandingkan ATH sebelum tapering 2010. Melihat trend seperti ini, analis cenderung menilai bahwa ide teoritis bank sentral untuk mengurangi atau melepas QE tetap merupakan janji kosong belaka.
Salah satu alasan mengapa bank sentral enggan untuk menarik kembali kebijakan QE mereka adalah kekhawatiran akan terjadinya "taper tantrum." Investor (dan pasar keuangan secara keseluruhan) dapat bereaksi secara ekstrim terhadap kemungkinan melambatnya stimulus dari bank sentral.
Taper Tantrum
"Taper tantrum" mengacu pada periode tertentu yang terjadi pada tahun 2013. Pada bulan Mei tahun 2013, Ketua Federal Reserve Ben Bernanke mengumumkan bahwa The Fed akan, di masa mendatang, mengurangi volume pembelian obligasinya (tapering). Akibatnya treasury yield naik dari 2,2% menjadi 3% selama musim panas meskipun Bernanke dan anggota The Fed lainnya menekankan bahwa pengurangan apa pun akan terjadi secara bertahap dan tidak terkait dengan kenaikan suku bunga. Kenaikan mendadak dalam treasury yield AS menyebabkan adanya arus keluar modal dan depresiasi mata uang di pasar negara berkembang seperti Brasil, India, Turki dan Afrika Selatan.
Kebijakan tapering The Fed ini merupakan kejutan negatif yang berdampak besar terhadap ekspektasi para investor, karena The Fed telah menjadi salah satu pembeli terbesar dunia. Sesuai dengan hukum ekonomi, jika permintaan (demand) turun, maka harga juga akan turun. Terkait hal ini, Investor obligasi bereaksi dengan menjual obligasi mereka, sehingga menekan harga obligasi. Tentu saja, penurunan harga obligasi selalu berarti imbal hasil yang lebih tinggi, sehingga treasury yield AS saat itu melonjak. Secara teoritis, kenaikan imbal hasil dapat berdampak pada pasar saham juga, karena hasil yang lebih menarik dapat menarik uang investor, sehingga bersaing dengan saham, tapi hal ini tidak selalu terjadi.
Penting untuk dicatat bahwa saat itu tidak ada aksi jual aset yang benar-benar dilakukan oleh The Fed. Komentar Bernanke hanya merujuk pada kemungkinan bahwa di masa mendatang The Fed mungkin akan melakukannya. Reaksi pasar obligasi yang ekstrem (pada saat itu) terhadap kemungkinan berkurangnya pembelian The Fed di masa depan menunjukan bahwa pasar obligasi sudah kecanduan stimulus The Fed. Sakau
Bagaimana dampak tapering ini terhadap pasar saham? Banyak pakar percaya bahwa pasar saham juga akan mengalami penurunan, karena uang yang mengalir ke perekonomian dari stimulus The Fed melalui pembelian obligasi juga dipercaya mendukung harga saham. Jika demikian, reaksi pasar terhadap prospek tapering Fed ini berpotensi menenggelamkan perekonomian.
Tetapi hal tersebut tidak terjadi, pasar saham AS menunjukkan volatilitas dalam beberapa minggu setelah pernyataan Bernanke di depan Kongres. CBOE VIX, sering disebut sebagai parameter pengukur ketakutan, melonjak pada Juni 2013. Indeks saham utama seperti S&P 500 dan Dow Jones mengalami aksi jual, tetapi berhasil kembali bangkit dan mengakhiri tahun 2013 dengan kenaikan sebesar 10,74% dan 7,73%, masing-masing, relatif terhadap komentar Bernanke di bulan Mei.
Ada banyak alasan mengapa pasar saham bisa tetap sehat. Pertama, mengikuti komentar Ketua Bernanke, The Fed kenyataannya tidak memperlambat pembelian QE-nya, malah meluncurkan pembelian obligasi besar-besaran putaran ke-3, dengan total $1,5 triliun lagi pada tahun 2015. Kedua, The Fed menyatakan keyakinan yang kuat dalam pemulihan pasar, meningkatkan sentimen investor dan secara aktif mengelola ekspektasi investor melalui pengumuman kebijakan secara berkala. Begitu investor menyadari bahwa tidak ada alasan untuk panik, pasar saham bergerak mendatar.
Bagaimana dampak tapering terhadap Indonsia di 2013 lalu? Mengutif Kata Data, efeknya, rupiah yang sempat berada di bawah Rp 10 ribu per dolar AS anjlok hingga ke level 12.000 per dolar AS pada tahun 2013. Nasib pasar saham pun tak jauh lebih baik. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sebelumnya berada di level 5.200 jatuh ke level 4.200 di akhir 2013 dan bahkan sempat menyentuh titik terendahnya di bawah 4.000 pada bulan Agustus.
Pemerintah mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai Rp 36 triliun. Efek kebijakan The Fed tak hanya bertahan pada 2013. Penarikan stimulus yang berlangsung hingga Oktober 2014 dan berlanjut dengan kenaikan bunga The Fed pada 2015 berdampak pada tren panjang terhadap pelemahan rupiah. Rupiah terus melemah hingga menyentuh 14.690 per dolar AS pada September 2015. Secara singkat, efeknya bagi Indonsia adalah jatuhnya pasar saham dan kurs rupiah.
Bagaimana dengan crypto? Sebagai aset yang lahir pada tahun 2010, bitcoin tentu juga sudah mengalami taper tantrum. Melansir Investopedia, di tahun itu harga bitcoin meroket kemudian merosot tajam, bahkan terjadi sebanyak 2 kali. Bitcoin mengawali tahun 2013 di US$ 13,4/BTC, kemudian meroket ke US$ 220 di awal April. Setelahnya bitcoin jeblok, kurang dari 2 pekan sudah berada di kisaran US$ 70/BTC.
Setelahnya, bitcoin meroket hingga ke US$ 1.156/BTC di bulan Desember. Tetapi 3 hari setelahnya sudah jeblok lagi dan menyentuh US$ 760/BTC. Penurunan tajam tersebut menandai periode panjang tren menurun bitcoin hingga menyentuh level terendah US$ 315 di awal 2015.
Jika melihat pergerakan harga bitcoin seperti disebutkan sebelumnya, artinya setelah wacana QE diungkapkan harganya melesat naik. Tetapi saat The Fed resmi memulai tapering pada Desember 2013 hingga akhirnya tuntas pada Oktober 2014, harga bitcoin terus merosot.
Namun, patut diingat pergerakan tersebut bukan berarti bitcoin merespon tapering. Sebab saat itu, popularitasnya belum seperti saat ini. Jangankan dijadikan portofolio investasi, bitcoin bahkan banyak dikecam, hingga disebut sebagai penipuan oleh investor institusional.
Bagaimana Pengaruh Tapering 2021?
Jika kita berkaca pada sejarah, tapering di 2021 akan menjadi katalis yang baik bagi pasar saham AS, meskipun demikian volatilitas pasar akan tetap terjadi. Volatilitas juga mungkin muncul pada bulan Februari 2022, dimana pemerintahan Joe Biden harus memutuskan apakah akan tetap mempertahankan Jerome Powell sebagai ketua The Fed atau malah memilih ketua baru. Pergantian kepemimpinan biasanya akan memicu kekhawatiran dari investor terkait adanya perubahan kebijakan yang akan berdampak buruk bagi pasar saham. Kekhawatiran selanjutnya adalah adanya peningkatan suku bunga untuk mengontrol inflasi, mengingat inflasi AS melonjak tinggi hingga 6,2% yang merupakan inflasi tertinggi dalam 31 tahun terakhir.
Bagaimana dengan Indonesia? Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memastikan, efek tapering ini tidak akan seburuk saat taper tantrum 2013. Perry menjelaskan, ada tiga alasan pengetatan stimulus The Fed tidak akan mempengaruhi kondisi domestik sebesar saat taper tantrum 2013. Pertama, komunikasi yang dibangun The Fed selama ini sudah sangat jelas, hal ini mendorong pasar semakin memahami pola kerja otoritas moneter AS tersebut. Kedua, Perry memastikan BI telah memiliki kebijakan yang sudah diimplementasikan selama ini untuk menjaga stabilitas rupiah, dengan mengantisipasi kaburnya dana asing dari pasar surat berharga negara (SBN). Ketiga, kondisi moneter dalam negeri yang lebih stabil, antara lain dengan cadangan devisa yang cukup tinggi mencapai US$ 137,4 miliar pada Juli 2021. "Ini jauh lebih cukup untuk melakukan stabilisasi," ujarnya.
Dengan optimisme efek tapering yang tak terlalu buruk, ia menegaskan kebijakan bank sentral tetap akan fokus mendorong pertumbuhan ekonomi, yakni dengan suku bunga tetap rendah dan kebijakan makro prudensial akomodatif. Sementara efek tapering akan diantisipasi BI dengan kebijakan intevensi tiga lapis dan koordinasi erat dengan pemerintah. Selain itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu memastikan, pemerintah akan menyiapkan langkah mitigasi dalam mengadapi efek yang mungkin timbul dari rencana tapering The Fed, terutama pada pasar surat berharga negara.
Senada dengan Gubernur BI, Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpendapat bahwa pengurangan pembelian obligasi pemerintah AS tidak akan mendorong pelemahan pasar keuangan negara berkembang sedalam saat periode taper tantrum 2013. "Selain pelaku pasar yang sudah memperkirakan sebelumnya, kondisi fundamental ekonomi Indonesia sebagai negara berkembang saat ini cenderung lebih baik," ujar Josua kepada Katadata.co.id.
Ia juga menilai kebijakan yang dimiliki pemerintah dan BI sudah cukup baik. Meski demikian, menurut dia, pemerintah dan BI perlu mengantisipasi ketidakpastian pandemi yang akan mempengaruhi kecepatan pemulihan ekonomi nasional. "Pemerintah dan BI perlu menyiapkan skenario apabila pemulihan ekonomi yang terhambat dan mempengaruhi juga postur defisit APBN pada tahun 2023 yang awalnya diharapkan akan kembali di level maksimal 3% terhadap PDB," katanya.
Ekonom BCA David Sumual turut memperkirakan dampak dari tapering yang akan dilaksanakan The Fed tak akan seberat tahun 2013, terutama pada nilai tukar rupiah. Hal ini juga didukung oleh porsi kepemilikan asing di surat utang negara jauh lebih rendah dibandingkan satu windu lalu. Meski demikian, ia menekankan, pemerintah harus mempercepat pemulihan ekonomi dengan mengendalikan kasus Covid-19. Jika ekonomi negara maju pulih jauh lebih cepat, modal asing akan semakin banyak keluar dari Indonesia. "Yang terpenting untuk dilakukan saat ini adalah memulihkan ekonomi lebih cepat," katanya.
Bagaimana dengan bitcoin? Pandangan pesimis dan optimis berseliweran terkait dampak kebijakan pengetatan AS di pasar keuangan, yang akan dimulai dengan tapering. Para pesimis khawatir bahwa dampaknya akan lebih besar lagi di negara-negara berkembang, yang harus menanggapi dolar yang kuat dan suku bunga rendah pada saat yang sama, sementara para optimis berpendapat bahwa pasar keuangan akan pulih dengan cepat karena interval antara resesi ekonomi dan pemulihan periodenya semakin mengecil.
Analis mengatakan bahwa kebijakan penghematan yang dipicu oleh tapering bisa menjadi keuntungan bagi pasar cryptocurrency. Aes Digital Asset, penyedia portofolio aset digital, menulis dalam laporan Juni baru-baru ini bahwa bahkan jika The Fed mulai melakukan tapering tahun ini, dampak jangka pendek pada pasar crypto akan terbatas. Hal ini karena tindakan pengetatan moneter skala penuh seperti kenaikan suku bunga dasar akan membutuhkan waktu sebelum berlaku, sehingga kondisi keuangan yang menguntungkan untuk produk tanpa bunga seperti emas atau Bitcoin akan terus berlanjut.
Analis lain percaya bahwa likuiditas akan berkurang karena tapering, nilai cryptocurrency dapat naik karena ketidakpastian ekonomi yang disebabkan oleh kebangkitan pandemi Covid-19. Dalam skenario ini, di mana tapering menyebabkan preferensi yang lebih besar untuk aset yang aman seperti saham atau emas, investor dapat fokus pada Bitcoin sebagai tempat yang aman karena jumlahnya yang terbatas.
Sebagai contoh, Tesla, Square, dan lainnya baru-baru ini membeli Bitcoin, menamakannya sebagai 'digital safe asset'. Bahkan bank global besar seperti Goldman Sachs, Bank of America dan Citibank telah meluncurkan produk investasi cryptocurrency. Sebagai alasan untuk memperkenalkan produk, mereka untuk memenuhi permintaan yang tinggi dari investor institusional yang mulai menerima Bitcoin sebagai aset lindung nilai (hedge).
Joe DiPasquale, CEO BitBull Capital mengatakan bahwa awalnya, narasi aset kripto berfokus sebagai investasi alternatif. “Dengan masuknya investor institusional, pelaku pasar akan menjadi semakin homogen (kalau dikita namanya 4L “Lu Lagi Lu Lagi”) hal ini menyebabkan pasar crypto menjadi semakin berkorelasi dengan pasar lainnya," ungkapnya seperti dikutip Forbes, Rabu (22/9/2021).
Direktur pelaksana Digital Capital Management Tim Enneking ternyata memberikan perspektif serupa. Menurutnya, aset kripto sekarang lebih berkorelasi dengan pasar fiat dalam banyak hal karena lebih banyak investor ‘fiat’ berinvestasi di kripto. "Pola pikir ‘risk off’ tidak spesifik untuk satu kelas aset saja, dengan demikian, ketika orang khawatir atau panik, maka mereka cenderung akan 'membuang' semuanya," ujar Enneking.
Di sisi lain, dia mengatakan, tidak ada alasan nyata untuk korelasi semacam itu. Oleh karena itu, jika pasar fiat tetap datar atau berubah menjadi bearish, investor akan mulai berburu imbal hasil dan banyak yang akan menemukan imbal hasil yang lebih baik di kripto. “Dengan kata lain, pasar kripto pada awalnya akan mengikuti penurunan seperti pasar fiat, namun, kemudian akan berbalik jauh lebih awal karena tidak ada alasan mendasar untuk penurunan mereka,” ungkap Enneking.
Vinny Lingham, salah satu pendiri & CEO Civic juga memberikan beberapa masukan mengenai fluktuasi harga aset kripto saat ini. Menurutnya, semua aset likuid terpengaruh ketika pasar global terganggu. Dia melihat ini di awal pandemi Covid-19. "Aset Kripto tidak kebal, tetapi mungkin akan mengungguli aset lain dalam jangka panjang karena uang yang masuk ke kripto melakukan lindung nilai terhadap risiko lain dalam ekonomi yang lebih luas,” ucap Vinny.
Salah satu pendiri dan CEO Bitwave Pat White mengungkapkan kunci lainnya. Dia menekankan bahwa pasar mata uang digital memiliki paparan luas terhadap peristiwa ekonomi global. “Saya pikir investor AS khususnya harus ingat bahwa kripto ada di seluruh dunia dengan cara yang sebenarnya tidak dimiliki aset lain," imbuhnya. Pasalnya, token kripto terekspose ke berbagai pasar dan negara. Jika Anda masuk ke pasar kripto dengan pandangan murni Amerika Serikat-sentris, lanjutnya, maka Anda akan terkejut pada hari-hari ketika sesuatu yang sama sekali tidak terkait dengan AS mengambil alih (note: contohnya China FUD).
Kesimpulan
Tapering merupakan salah satu alat yang digunakan pemangku kebijakan untuk melakukan deleveraging. Menurut Ray Dalio, proses deleveraging dapat berjalan mulus ataupun sangat kacau tergantung bagaimana pemangku kebijakan menggunakan alat-alat kebijakan yang dimilikinya. Para analis cenderung tidak khawatir akan adanya tapering tahun 2021 ini karena mereka menilai investor sudah lebih mapan dan berpengalaman sehingga kemungkinan terjadinya taper tantrum semakin mengecil.
Untuk pasar negara berkembang seperti Indonesia, juga dinilai sudah lebih siap dalam menghadapi kebijakan yang diambil pemerintah AS. Selain itu, keterbukaan informasi dan update secara reguler dari pemerintah AS juga membantu negara berkembang untuk melakukan persiapan. Kesimpulannya, sebagai investor kita tidak perlu memiliki kekhawatiran terlalu besar terkait tapering ini, tetapi juga tetap harus waspada untuk menghadapi volatilitas yang mungkin terjadi.
Referensi
https://www.investopedia.com/terms/t/tapering.asp
https://www.investopedia.com/terms/t/taper-tantrum.asp
https://haruinvest.com/blog/the-effect-of-tapering-on-bitcoin/
Lead Image by Mathieu Stern on Unsplash