Urgensi Pembaharuan UU Pemilu Demi Penguatan Demokrasi di Indonesia

0 43
Avatar for andrianlover
3 years ago
Topics: Politics

Sebuah Resume Seminar

Pemerintahan yang demokratis berbatas dengan periodesasi kekuasaan. Tujuan itu agar tidak ada penguasa yang memiliki kekuatan yang sangat dominan. Oleh sebab itu, pemilihan pengisi kekuasaan eksekutif, eksekutif daerah, legislatif dan legislator daerah disepakati melalui pemilihan umum.

Untuk Indonesia, pemilihan ini dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Akan tetapi, masalah timbul karena benturan regulasi. Oleh sebab itu, muncul masalah apakah pemilu 2024 akan menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum atau tidak.

Untuk itu, Magister Hukum Universitas Pamulang menyelenggarakan seminar nasional yang berusaha menjawab permasalahan Urgensi Pembaharuan UU Pemilu demi Penguatan Demokrasi di Indonesia.

Magister Hukum Universitas Pamulang berharap menemukan solusi untuk masalah bangsa. Karena demokrasi adalah inti dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga dibutuhkan cendekiawan demokrasi yang bisa memberikan jawaban untuk masalah ini.

M. GUNTUR HAMZAH, Ketua API HTN-HAN dan Sekjen MK yang menyampaikan bahwa Untuk menjalankan salah satu fungsinya sebagai pengawal demokrasi (the guardian of democracy), Mahkamah Konstitusi melaksanakan kewenangannya untuk memutus perselisihan hasil Pemilu dan Pilkada.

Dalam proses pemeriksaannya, MK menggunakan paradigma keadilan substantif dengan tetap mempertimbangkan keadilan prosedural. Apabila diyakini telah terjadi kesalahan atau pelanggaran yang bersifat signifikan dalam penyelenggaraan Pemilu ataupun Pilkada, MK dapat membatalkan hasil penetapan perolehan suara dan memerintahkan dilakukannya penghitungan atau pemungutan suara ulang demi menjaga kemurnian suara dan kedaulatan rakyat. Putusan ini bertujuan untuk memperkuat konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Titi Anggraini, SH, MH, Dewan Penasehat Perludem membahas tentang Pemerintah dan DPR mendrop RUU Pemilu dari prioritas legislasi 2021 dengan demikian pengaturan pemilu dan pilkada masih mendasarkan pada undang-undang yang ada saat ini, yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dengan demikian pada 2024 akan ada pemilu legislatif dan pemilu presiden secara bersamaan serta pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota pada November 2024.

Pada intinya, Titi menjelaskan tentang:

  • Kompleksitas pemilu 5 kotak yang membuat pemilih tidak mudah dan tidak sederhana dalam memberikan suaranya yang diindikasikan oleh tingginya surat suara tidak sah (invalid votes);

  • Polarisasi dan keterbelahan politik yang menjauhkan pemilih dari politik gagasan dan program serta melemahkan kultur kewarganegaraan dalam tata kelola bernegara;

  • Adanya Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan pemilu;

  • Desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang cenderung obesitas dan belum berimbang dalam membangun posisi dan relasi antara masing-masing aktor KPU, Bawaslu, dan DKPP;

  • Penyelesaian permasalahan keadilan pemilu yang saat ini terlalu banyak menyediakan ruang/saluran (too many rooms to justice) membuat sulit tercapainya keadilan dan kepastian hukum elektoral;

  • Kebutuhan penyelarasan pengaturan dengan berbagai Putusan MK terkait UU Pemilu (hak pilih, mantan terpidana, jumlah anggota penyelenggara, dll);

  • Membuat Revisi UU Pemilu relevan, penting, dan memiliki urgensi untuk dilakukan dalam rangka memperkuat kualitas demokrasi dan tata kelola pemilu Indonesia.

  • Menimbang Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, pilihan model keserentakan pemilu akan sangat mempengaruhi kualitas tata kelola pemilu Indonesia.

  • UU Pemilu mesti diatur adaptif pada situasi pandemi atau potensi terjadinya bencana nonalam. Peluang pemilihan via pos (postal voting), pemilihan lebih awal tidak hanya dalam satu hari (early voting/advance voting), dan penggunaan teknologi penghitungan suara (e-recap) harus dipertegas dan diperjelas pengaturannya. Saat ini UU yang ada belum adaptif pada situasi pandemi atau potensi terjadinya bencana nonalam. 

  • Berkaca pada Pemilu 2019, penyelenggaraan pemilu dan pilkada pada satu tahun yang sama (2024) potensial membuat tata kelola pemilu Indonesia kacau dan bermasalah. Oleh karena itu pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada mestinya tidak diselenggarakan pada tahun yang sama. Untuk menata itu, maka Pilkada sebaiknya pemilihan secara nasional dilakukan pada 2027.

Fritz Edward Siregar, PhD, Anggota Bawaslu RI menilai harus ada perbaikan dalam kewenangan Bawaslu berdasarkan undang-undang pemilu dan pilkada. Fritz membangun pandangan kebijakan politik hukum tentang demokrasu di Indonesia bahwa kehadiran Bawaslu merupakan pemenuhan rasa keadilan dalam pemilu. Menurutnya, Salah satu indikator pemilu yang demokratis dilihat dari proses penegakan hukum sepanjang pemilunya berjalan. Fritz menjelaskan bahwa proses penegakan hukum pemilu berjalan secara free and fair, maka boleh jadi salah satu syarat untuk proses penyelenggaraan pemilu yang demokratis tercapai.

Dengan begitu, apabila mayoritas persepsi publik menilai sistem keadilan pemilu tidak bekerja maksimal dan lemah dalam penegakan hukum dan dalam penyelesaian perselisihan pemilu, maka dampaknya tidak hanya akan merusak kredibilitas pemilu, tetapi juga menyebabkan pemilih mempertanyakan peran serta penyelenggaraan pemilu sehingga memungkinkan gerakan menolak hasil pemilu.

Jadi, bisa dikatakan pemilu demokratis manakala pelaksanaannya telah meletakkan makna keadilan pemilu sebagai semangat utama dalam penyelenggaraan pemilu. Melalui tugas dan wewenangnya, Bawaslu dituntut untuk mencegah berbagai ketidakberesan dalam proses pemilu, menyediakan mekanisme komplain masyarakat, dan menyediakan mekanisme penyelesaian yang adil dan transparan atas komplain masyarakat.

Bahkan dalam batas-batas tertentu memberikan hukuman setimpal bagi pelanggar yang menyebabkan terganggunya proses pemilu. Berdasarkan Pasal 22 E ayat (1) yang menyebutkan bahwa “pemilihan umum diselenggarakan, secara langsung, umum, bebas, dan rahasia”. Penambahan Frasa jujur dan adil (jurdil) dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 membuat keadilan pemilu merupakan serangkaian menciptakan hasil pemilu berkualitas.

6
$ 4.33
$ 4.28 from @TheRandomRewarder
$ 0.05 from @bheng620
Sponsors of andrianlover
empty
empty
empty
Avatar for andrianlover
3 years ago
Topics: Politics

Comments