Contoh Soal dan Jawaban UAS Teori dan Sejarah Hukum
1. Silahkan Saudara/i jelaskan apa yang dimaksud dengan istilah “Stufenbau Theory” dari Hans Nawiasky. Bagaimana hubungannya dengan sejarah dan praktek sistem hirarki perundang-undangan di Indonesia?
Prinsip norma peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai Negara Hukum itu sesuai dengan teori otoritatif hierarki norma (stufenbau theory). Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
i. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
ii. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
iii. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
iv. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.
2. Silahlan Saudara/i jelaskan apa yang dimaksud dengan istilah “the law is state order” dari John Austin. Bagaimana hubungannya dengan praktek negara-negara termasuk negara Indonesia? John Austin memberikan pengertian dan batasan tentang cakupan ilmu hukum. Pertama, hukum merupakan perintah penguasa, kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga, hukum positif terdiri dari unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral positif (positive morality). pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum Kelsen). Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal:
Pertama, bahwa pembentuk hukum adalah penguasa
Kedua, bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang; dan
Ketiga hukum diterapkan terhadap pihak yang di kuasai.
3. Carl von Savigny menyebutkan “Das rechts wird nich gemacht, est ist und wird mit dem volke”. Silahkan Saudara/i jelaskan apa makna dari pendapat tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan sistem hukum adat di Indonesia? Menurut Von Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena peraasaan keadilan yang terletak didalam jiwa bangsa itu sendiri (instiktif). Jiwa bangsa atau (volksgeist) itulah yang menjadi sumber hukum. Seperti yang diungkapkannya, “law is an expression of the common counciouness of spirit of people”. Hukum tidak di buat, tetapi tumbuh dan berkembang di dalam masyrakat (Das Recht wird nicht gemacht, es it und wird mid dem V Bolke) yang berarti artinya bahawa toeri hukum yang di keluarkan oleh von savigniy terhadap masyarakat, yang dimana masyarakat harus mematuhi sebuah peraturan hukum sejatinyaa peraturan yang di buat oleh pemerintah guna untuk kesejahteraan maasyarakat tersebut di buat oleh pemerintah bersama legeslatif. ini merupakan sebuah peraturan dinegara yang menganut positivisme hukum.
Argumentasi ini dipertajam lagi oleh Friederich Karl von Savigny yang melahirkan mazhab sejarah menekankan bahwa: “Hukum tidak berlaku universal, setiap bangsa memiliki kesadaran hukum, kebiasaan, budaya yang berbeda dengan bangsa lain yang dapat ditemukan dalam jiwa bangsa. Hukum dapat dikenali dalam ciri khas sebuah bangsa, seperti bahasa, tata krama dan konstitusi. Hukum tumbuh melalui sebuah perkembangan dan menguat dengan kekuatan rakyat dan akhirnya lenyap sebagaimana kehilangan rasa kebangsaannya.”
4. Silahkan Saudara/i jelaskan apa yang dimaksud dengan aliran “Utilitisme Hukum” dari Jeremy Bentham. Bagaimana parameter atau ukuran dalam penerapan pemikiran tersebut? Ajaran Bentham dikenal sebagai Utilitarianisme individual, yang menyatakan bahwa baik buruknya suatu perbuatan akan diukur apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Bentham mencoba menerapkannya di bidang hukum yaitu perundang-undangan di mana baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut. Sehingga undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Oleh karena itu diharapkan agar pembentuk undang-undang harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual. Lebih lanjut Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.
Ajaran Bentham dikenal dengan sifat individualis di mana pandangannya beranjak pada perhatiannya yang besar pada kepentingan individu. Menurutnya hukum pertama-tama memberikan kebahagian kepada individu-individu tidak langsung kemasyarakat. Namun demikian Bentham tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. Untuk itu, Bentham mengatakan agar kepentingan idividu yang satu dengan kepentingan individu yang lain tidak bertabrakan maka harus dibatasi sehingga individu yang satu tidak menjadi mangsa bagi individu yang lainnya (homo homini lupus). Selain itu, Bentham menyatakan bahwa agar tiap-tiap individu memiliki sikap simpati dengan individu yang lainnya sehingga terciptanya kebahagiaan individu maka dengan sendirinya maka kebahagiaan masyarakat akan terwujud.
Bentham mendefinisikan kegunaan (utilitas) sebagai segala kesenangan, kebahagiaan, keuntungan kebajikan, manfaat atau segala cara untuk mencegah rasa sakit, jahat, dan ketidakbahagiaan. Beberapa pemikirannya pentingnya yaitu :
1. Hedonisme kuantitatif (paham yang dianut orang-orang yang mencari kesenangan semata-mata secara kuantitatif bahwa hanya ada semacam kesenangan, dimana kesenangan hanya berbeda secara kuantitatif yaitu menurut banyaknya, lama dan intensitasnya sehingga kesenangan adalah bersifat jasmaniah dan berdasarkan penginderaan.
2. Summun bonum yang bersifat materialistik berarti bahwa kesenangan-kesenangan bersifat fisik dan tidak mengakui kesenangan spritual dan menganggapnya sebagai kesenangan palsu.
3. Kalkulus hedonistik (hedonistik calculus) bahwa kesenangan dapat diukur atau dinilai dengan tujuan untuk mempermudah pilihan yang tepat antara kesenangan-kesenangan yang saling bersaing. Seseorang dapat memilih kesenangan dengan jalan menggunakan kalkulus hedonistik sebagai dasar keputusannya. Adapun kriteria kalkulus yaitu : pertama, intensitas dan tingkat kekuatan kesenangan, kedua, lamanya berjalan kesenangan itu, ketiga, kepastian dan ketidakpastian yang merupakan jaminan kesenangan, keempat, keakraban dan jauh dekatnya kesenangan dengan waktu, kelima, kemungkinan kesenangan akan mengakibatkan adanya kesenangan tambahan berikutnya, keenam, kemurnian tentang tidak adanya unsur-unsur yang menyakitkan, ketujuh, kemungkinan berbagi kesenangan dengan orang lain. Disamping itu ada sanksi untuk menjamin agar aorang tidak melampaui batas dalam mencapai kesenangan yaitu : sanksi fisik, sanksi politik, sanksi moral atau sanksi umum dan sanksi agama atau sanksi kerohanian.
5. Silahkan jelaskan apa yang Saudara ketahui tentang istilah “Omnibuslaw”?. Bagaimana hubungannya dengan sistem perundang-undangan Indonesia? kata omnibus yang berasal dari bahasa Latin berarti “untuk semuanya” (Toruan dalam “Pembentukan Regulasi Badan Usaha dengan Model Omnibus Law”, 2017:464). Di dalam Black’s Law Dictionary, definisi omnibus adalah for all; containing two or more independent matters. Applied most commonly to a legislative bill which comprises more than one general subject (Black, 1990: 1087). (Untuk semua/seluruhnya; mengandung dua atau lebih hal-hal yang berdiri sendiri Seringkali digunakan dalam RUU yang terdiri lebih dari satu subjek umum).
Omnibus law adalah undang-undang yang substansinya merevisi dan/atau mencabut banyak undang-undang. Konsep ini berkembang di negara-negara common law dengan sistem hukum anglo saxon seperti Amerika Serikat, Belgia, Inggris dan Kanada, mengutip A. Putra dalam Jurnal Legislasi Indonesia.
Konsep omnibus law menawarkan pembenahan permasalahan yang disebabkan karena peraturan yang terlalu banyak (over regulasi) dan tumpang tindih (overlapping). Bila permasalahan tersebut diselesaikan dengan cara biasa, maka akan memakan waktu cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi proses perancangan dan pembentukan peraturan perundang-undangan seringkali menimbulkan deadlock atau tidak sesuai kepentingan.