Mulyadi, Senior dan Abang

1 38
Avatar for andrianlover
3 years ago
Topics: Community

Hari itu Sabtu, tanggal 9 Januari 2021 bertepatan dengan 25 Jumadil Awwal 1442 adalah hari yang biasa saja. Tidak ada nada-nada yang mengabari duka cita. Sebuah kendaraan menyusuri jalan di Provinsi Jawa Barat. Entah kenapa, langit begitu kelam, kilat dan petir seperti menandakan tangis langit.

Aku bersama beberapa orang masih saja memacu kendaraan roda empat itu. Namun, hati gundah –gulana. Kenapa hari ini berubah aneh. Bagai bayangan kesedihan mendalam. Langit mencurahkan ‘rahmat’ yang begitu deras. Kesedihan langit memaksa kami untuk brthati-hati dalam menempuh jalan.

“Sriwijaya Sj 182 hilang kontak”

Anganku terbagi, apakah ini yang membuat langit begitu sedih. Jari-jari membuka berbagai aplikasi di ponsel. Sampai pada beberapa waktu, bersamaan dengan jurus gemuruh dahsyat menukik kedalam palung jiwa. Aku yakin, bukan hanya diriku yang merasakan hal ini. Tetapi semua orang yang mengenalnya berusaha menolak berita sembari berdoa untuk ‘mukzizat-NYA’.

“Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam periode 2016-2018 bersama istri, mertua dan anak angkat mertuanya adalah penumpang pesawat Sriwijaya SJ 182 dengan rute perbangan Jakarta-Pontiak,” berita itu mengampiri ruang ponsel tanpa meminta izin untuk tampil.

Seketika, mentalku menurun drastis. Hayalan langsung membentuk wajah si abang yang baik. Seakan menolak fakta, jari-jari itu berusaha mencari berita yang membahagiakan. “pasti bukan abangku,” gumamku dalam hati.

Satu demi satu kiriman berita bermunculan. Ada yang melampirkan data penumpang. Bahkan, ada yang sudah memberikan ucapan perpisahan. Apakah ini memang terjadi? Dan tiba-tiba muncul dialog dalam anganku:

“Bang Aku lagi di Sintang”

“Dimana? Sintang? Ngapain”

“Lagi kerja bang, abang lagi di Sintang atau Jakarta”

“Jakarta”

“Ohh, rencana mau main ke rumah Abang”

“Main saja, ada orang tua disana, atau ngopi di tempat adek ku saja. Bilang anak HMI,”

“kalau ke rumah segan bang, kan engga ada abang”

“Sudah biasa, orang tua abang sudah paham sama anak HMI”

“lain kai saja bang, segan, masak ke rumah abang tapi engga ada abangnya”

“Ya sudah, keliling-keliling lah di Sintang, atau ngopi di tempat adek-adek HMI biasa ngumpul”

“iya bang”

Goblok!

Satu kata yang langsung muncul. Udara dingin itu seakan menambah penyesalan. Kenapa aku tidak ke rumahmu, bang? Kenapa aku tidak singgah di tempat ngopi itu? Kenapa aku mengalah pada letihku pada saat itu. Harusnya aku kerumah. Sudah biasa aku pergi ke tempat adek-adek ngopi. Kenapa tidak ku lakukan pada waktu itu.

Lain Kali!

Sekarang, dimana kata lain kali itu? Kenapa mulutku mengucapkan kata lain kali. Emang ada? Ketika engkau menikah. Aku juga tidak ikut mempersiapkan pernikahanmu bang. Aku tidak tahu bahwa mereka sering berkumpul denganmu. Ngopi untuk membahas persiapan hari bahagiamu.

Nanti saja, bareng abang!

Mana ada lagi. Entah sejak kapan aku mulai mengalah pada tubuh. Kalau saja aku ke rumah abang waktu itu. Seandainya saja aku ke tempat ngopi yang abang tawarin. Atau, seharusnya aku memaksakan diri untuk hadir saat pernikahanmu bang. Pada akhirnya, aku mulai mengingat-ingat lagi kebersamaan kita.

Pertemuan Pertama di Malam Penentuan

Malam itu, aku mengikuti pendukung bang Rijal Akbar Tanjung. Kami pergi menuju suatu lokasi. Sebuah tempat dimana mereka akan menyatakan janji untuk bersatu dalam satu mimpi. Bersama orang-orang yang sedang serius. Karena malam itu adalah malam penentuan. Esok, siapa yang memimpin Himpunan Mahasiswa Islam? Tentu saja ditentukan di malam itu juga.

Aku duduk akan menjauh dan berhimpit-himpitan dengan yang lain. Aku minder dan malu. Karena aku bukan siapa-siapa. Ingin mulutku bicara. Tetapi, ada rasa segan. Bagaimana aku memberikan saran?

“Kawan-kawan, kita berkumpul disini untuk tujuan yang sama. Tidak ada yang membedakan antara mereka yang datang lebih awal dengan kawan-kawan yang baru datang. Kita semua bersatu dalam semangat juang yang sama,” kata laki-laki bertubuh kecil itu.

Aku perhatikan dengan seksama. Dia tidak keren-keren banget. Kecil, pendek, dan biasa saja. Aku coba menyisir satu demi satu wajah-wajah yang ada disana. Memang benar. Malam itu semua santai tapi serius. Mereka seakan-akan sudah menyiapkan diri untuk hari esok.

Sejenak aku melihat, sosok itu terlalu biasa. Dia santai dan tidak tertekan. Seolah-olah sudah terbiasa dengan peristiwa seperti ini. Entah kapan, namun, itu adalah malam sebelum kongres HMI di Jakarta usai. Esok hari, ternyata bukan dia yang memimpin HMI. Melainkan bang Arief Rosyid, sang dokter politik. Itu adalah kenangan pertama dengan Bang Mulyadi P. Tamsir.

Setelah kongres, aku mendengar bahwa Bang Mulyadi menduduki posisi orang nomor dua, Sekretaris Jenderal. Ternyata aku masuk dalam ‘gerbong’ Sekjen HMI. Meskipun itu sebatas pernyataan pribadi. Karena waktu itu, aku masih sebagai ‘peserta peninjau’ yang tidak memiliki suara untuk memilih Bang Mulyadi.

Pembuka Jalan

Setelah sekian lama, suatu malam ada telpon yang meminta bantuan. Saat itu, salah satu Pengurus Besar HMI dari Sumbar Isma Saparni meminta tolong. Pada waktu yang sama, sebuah sejarah dimulai. Ketua Umum Badan Koordinasi HMI Sumatera Barat Reno Fernandes dan kawan-kawan tiba di halaman secretariat HMI Cabang Lubuksikaping.

Tapi ada suatu yang menggembirakan, Reno dkk membawa tamu istimewa, Sekjen PB HMI, bang Mulyadi P. Tamsir. Gelagat panic langsung terasa. Apakah harus disambut dengan tari-tarian? Atau kami bawa ke rumah senior yang lebih ‘nyaman’.

“Kalian ini, mana ada dekat, katanya dekat,” canda Bang Mulyadi ke Reno.

“Dekat bang,” Jawab rombongan Badko

“Ini dibohongi, katanya Cuma dua jam. Ini sih lebih dua jam,” sanggahnya

“Kalau tidak begitu, kapan Mas menikmati jalan berliku ke lubuksikaping,” balas mereka.

Dalam lamunan, kami gelagapan menyalami Bang Mulyadi. Dia tidak terlihat kelelahan. Padahal jarak antara Padang ke Lubuksikaping lumayan. Beda tipis dengan jarak tempuh Pontianak ke Sintang. Senyumnya masih sama. Santai dan matanya tajam memerhatikan kami satu persatu.

“Biasa saja, tadi bercanda. Tanpa dibohongi pun. Saya akan tetap kesini. Ini pertama kali saya ke lubuksikpaing,” ucap Bang Mulyadi sembari menikmati air hangat di gelas plastic.

Ruangan kami cukup luas untuk ukuran kami. Berlantaikan semen dan hanya ada tikar lama dengan banyak sobekan. Belum lagi, penerangan yang tidak bisa mengimbangi cahaya lampu di rumah pribadi. Sehingga, tidak jelas wajah tampan yang ada di ruangan itu.

Kami hanya bisa menyuguhkan nasi dan lauk sekedarnya. Alhamdulillah, tidak ada rasa angkuh dan kesombongan. Bang Mulyadi mengambil nasi dan lauk pauk itu. Dengan santai, dia mengangkat piring agar lebih dekat dengan mulut. Lalu, suap demi suap pun bersusulan.

“Saya juga dari cabang kecil. Jangan berlebihan. Biasa-biasa saja,” ujarnya untuk meringankan beban hati kami yang menerima kunjungan Bang Mulyadi.

Bang Mulyadi adalah orang pertama, sepanjang ku ketahui sejak pertama kali aku ber-HMI pada tahun 2007. Pertama kali dan mengesankan. Tahun itu, 2013, adalah tahun dimana aku mulai memikirkan tentang Jakarta dan Indonesia. Sosok yang memberi harapan itu adalah Bang Mulyadi.

“Jika Bang Mulyadi bisa, kenapa aku tidak bisa,”

Mengajari Lawan

Pada tahun 2015, Kongres HMI akan diselenggarakan di Pekan Baru, Riau. Sebelum pesta demokrasi dimulai, aku mendengarkan obrolan antara Bang Hermansyah dengan Bang Samaratul Fuad. Saat itu, mereka membicarakan tentang subtansi berdemokrasi di HMI.

Singkat kata, melalui Bang Hermansyah, aku masuk dalam tim nasional pemenangan Arianto Tinendung. Ternyata di tim itu sudah ada orang sumbar lain, seperti bang Kenny dan Uni Denis. Dua sosok ini adalah kekuatan yang menyatu, Bang Kenny jago ‘bicara’ dan Uni Denis adalah pengelola keuangan terbaik.

Ada juga Bang Batam dengan nama asli Ari Bahari, Saddam, Soim, Boy, Murdin, Togar, Izhar, Septiandi dan lain-lain. Sebagian besar tim Arianto Tinendung adalah orang-orang yang sudah lama berjuang dengan Bang Mulyadi.

Arianto Tinendung adalah Master Camp atau ketua tim pemenangan Bang Mulyadi waktu di Kongres Jakarta yang dimenangi oleh bang Arief Rosyid. Bang Batam dan Uni Denis juga adalah orang-orang yang sudah lama tinggal serumah dengan Bang Mulyadi. Dari mereka, aku mulai sering ketemu dengan Bang Mulyadi.

Kira-kira siang itu, aku ikut dengan Bang Batam ke suatu mall di Jakarta. Disana sudah ada orang yang ingin dijumpai. Badannya tinggi, kekar, tampan, dan berwibawa. Namanya bang Maman Abdurahman. Ehh, ternyata ada Bang Mulyadi disana. Tetapi bagi Bang Maman, semuanya sama, tidak ada pembeda.

Disela-sela obrolan politik, aku yang sedikit tidak paham pebahasan merasa jenuh. Dengan sedikit semangat berusaha keras menghayali nama-nama yang terucap. Mengira-ngira siapa yang tersebut.

“Bagaimana, masih kuat?” Tanya bang Mul.

“Masih Bang” jawabku.

“Begini kalau menjelang kongres. Pertemuan seperti ini sudah biasa. Kamu harus belajar. Mendengar. Dan mengamati. Nanti juga paham apa yang dibicarakan orang,” terangnya.

Aku memang tidak mengenal betul Bang Mulyadi. Tapi aneh saja bagiku. Meskipun mereka berteman. Tetapi secara politik, apalagi politik yang umumnya kita lalui di pemilu atau pilkada. Apa yang diajarkan Bang Mulyadi kepada diriku adalah sesuatu yang tabu.

Seketika pertanyaan muncul, bagaiamana mungkin peserta pesta demokrasi mengajari anak buah dari lawannya. Aneh. Tetapi dia malah tersenyum. Aku pun masih heran dengan keluguanku. Haus. Segelas kopi dingin yang baru pertama kali kucoba pun habis.

“Jika ada yang bisa kamu bantu. Bantulah kandidatmu. Terkadang, seorang kandidat terlalu sibuk. Sehingga hal-hal kecil terlupakan. Jangan minta diperhatikan juga. Kamu sudah tim nasional. Kamu ikut memperhatikan orang lain. Belajar dahulu sekarang. Nanti bisa maju juga jadi kandidat,” didiknya padaku.

Aku bertambah bingung. Apakah memang seperti ini. Agak aneh, Bang Mulyadi mengajariku. Secara, aku bukanlah tim pendukungnya. Aku pun tidak menyatakan lebih lanjut. Hari-hari kulalui dengan memperhatikan Bang mulyadi.

“Sudah, jangan pikirkan aku. Pikirkan saja perjuangan mereka. Aku akan tetap bantu semampuku,”

Kalimat itu cukup sering ku dengar. Bagaimana Bang Mulyadi membantu adek-adeknya yang juga lawan politik saat kongres. Kadang kala, dia menyerah untuk mengomunikasikan niatnya kepada senior. Karena ada adeknya yang meminta bantuan senior itu.

“Saya lain kali saja bang, silahkan dibantu si Batam ini,” ucapnya kepada Bang Maman Abdurahman dihadapan kami semua.

Dia tahu kapan berurusan secara serius. Dia juga paham dengan situasi untuk menjadi abang dari adek-adeknya. Meskipun susah, Bang Mulyadi tidak pernah memperlihatkan kesusahan dan kesulitannya. Dia santai dengan senyumnya yang itu-itu saja.

“Habis ini langsung ke Jakarta yah, ber-PB HMI,” sebut bang Mulyadi suatu waktu.

Marah Tetap Sayang

Alkisah, aku merantau ke Jakarta dengan harapan sederhana. Semoga bisa memberikan kebaikan untuk HMI Cabang Lubuksikaping. Namun, namanya anak baru. Ego kadang berlebihan.

Saat ke Jakarta, aku tinggal di warung kopi milik Arianto Tinendung. Selain diriku, ada teman-teman yang sudah terlebi dahulu tinggal disana. Namun, kepala suku atau yang dituakan adalah Bang Batam. Dia tinggal bersama kami. Sesekali, Bang keni, Uni Denis, dan yang lain mengunjungi.

Namun, ada kalanya kesal kepada para pendahulu. Kita anak baru, tidak ada pengajaran tertentu. Tidak diajak silaturahim. Kadang ditinggalkan dalam kondisi lapar. Kalau meminta atau mengeluh. Para Ketua Bidang-nya Arianto Tinendung bukannya membantu.

“Kan laki-laki, kalau perempuan (kohati) baru ku tolong. Masak laki-laki ditolong,” sering si Ketua Bidang mengucapkan hal tersebut.

Aku juga tidak tahu, bahwa Bang Mulyadi tidak memilih-milih pengurus yang dibawa silaturahim. Syaratnya Cuma satu:

“Kalau kamu datang ke camp ini pagi-pagi sekali. Nanti abang ajak jalan. Kan engga mungkin abang yang ngabarin kalian untuk pergi. Kalian lah yang kesini,” terang bang Mul.

Sebenarnya, Bang Mulyadi mengajak anak-anak baru di PB untuk tinggal di rumah kontrakannya. Gabung dengan yang lain. Apalagi rumah (warung) pak-pak coffe harus dirobohkan Pemprov DKI Jakarta. Niatan bang Mul untuk mengajak kami tinggal menjadi ucapan setiap perjumpaan.

“Tinggal disini saja. Biar lebih mudah abang ngajarinya,” kata Bang Mul. Kadang-kadang sempat marah. “Kamu ini diajak gabung, koq malah engga mau,”

Sekarang, setelah sekian lama, aku baru meyadari. Seandainya saja aku sering ke kontrakan bang Mulyadi. Tentu banyak pelajaran yang akan ku terima. Terlebih soal pengelolaan latihan kader. Karena aku dan bang Mul sama-sama Master of Training.

Bang Mulyadi tidak pernah bosan untuk mengajak kami menetap di kontrakannya. Terlebih saat tempat tinggal pertamaku harus roboh oleh alat berat. Beberapa orang dengan seragam loreng memaksa kami angkat kaki dari tempat itu.

“Habibi, ke rumah aja dek. Kamu ini, mau tinggal dimana? Sudah kesini saja,” ajaknya berulang kali.

Bodohnya diriku, ajakan orang baik itu selalu ku tolak dengan semangat persatuan kami. Sebenarnya, kalau Bang Batam sebagai komandan kami mengajak ke rumah Bang MUl. Tentu saja kami akan tinggal disana. Entah kenapa, gengsi Bang Batam juga tinggi. Namun, Induk Ayam sudah terlanjur pulang kampung meninggalkan kami di ibu kota.

Usil

Tak jarang seorang Mulyadi P. Tamsir bercanda dengan adek-adeknya. Paling sering diusilin adalah bang Batam. Dia suka bercanda. Kadang meledek orang-orang yang pacaran. Bahkan menyuruh agar mereka menikah. Tetapi, hamper kelama empat, Bang Mul sendiri baru nikah.

“Pacarmu engga nelpon-nelpon lagi ya,” sembari tersenyum Bang Mulyadi melirik adeknya yang special dengan kepala botak.

Ada kalanya, dia seakan lebih paham dengan pernikahan. “Sudah nikah saja. Jangan lama-lama,” ujarnya.

“Ahh abang aja belum” kata sang adek

Kadang-kadang, aku ke ruangan bang Mulyadi di PB HMI. Ruangan itu kecil, bahkan teralu kecil. Hanya ada seperangkat meja kerja dan kursi tamu. Ada satu lemari untuk menyimpan plakat dan piagam penghargaan.

“Wah ada penulis, ajak ngopi lah,”

Bang Mulyadi sebenarnya tidak ingin ditraktir. Bahkan, kalau seandainya kami ngopi bareng. ‘Tangan kanan’nya pasti langsung bergerak untuk menyelesaikan pembiayaan ngopi-ngopi. Dia hanya bercanda sembari menyematiku untuk tetap menulis.

“Mana Batam” adalah penutup obrolan bagi Bang Mulyadi. Selalu saja itu. Masak nanya Bang Batam melulu.

“Abang ini, yang ada kan aku, nanya Bang Batam terus,”

“Iya, karena senang aja lihat kalian berdua yang terlalu serius,”

THR Super Double

Bulan puasa, setiap orang yang merantau tentu memiliki pilihan. Tetap di Jakarta atau pulang. Seminggu menjelang lebaran adalah waktu krusial. Anak-anak PB HMI, termasuk diriku juga berharap-harap cemas. Karena, ada saja alasan bagi pengelola keuangan untuk menolak mencairkan THR bagi kami.

“Kalian tidak aktif. Mana bukti tanda tangan kehadiran,” hardik pemegang uang kertas dengan sombongnya.

Kadang kala, dari pada melihat perdebatan. Aku lebih baik diam. Jika ada namaku di daftar, maka akan ku terima. Jika tidak, ya biarin saja. Nanti juga bakalan dapat dari Bang Batam.

Tetapi, ada hal baru, kami yang sudah pindah ke Cikini dengan bantuan awal dari Saddam memiliki kebiasaan baru. Awalnya sih Togar yang hobby masak. Dia suka masak dan mengundang orang untuk makan-makan di mabes cikini. Tapi akhirnya, para HMI-wati lah yang pada masak setiap Togar mengundang makan-makan.

Begitu juga saat puasa, MPT Camp kontrakan Bang Mul dan Mabes Cikini dibawah pimpinan Bang Batam sering mengadakan buka bersama atau sahur bersama. Salah satu tamu khusus adalah bang Mul.

“Kalian kalau bisa pulang, ya pulang saja. Ngapain lebaran di Jakarta. Masih ada orang tua, ya pulang,” pesan bang Mul.

Ucapan bang Mul itu bukan pepesan kosong. THR dari PB HMI itu bukan urusan Bang Mulyadi dalam pembagiannya. Kalau kita ngotot, pasti dapat. Kalau ngotot, kalau engga ya tunggu saja malam ke-27 ramadahan. Undangan berbuka akan datang dari Bang Mulyadi.

“Dek, sini”

Sembari mengambil uang yang sudah disiapkan, Bang Mul memanggil adek-adeknya satu persatu. Semua rata. Malam pun berganti. Malam takbiran adalah malam penetuan. Pulang kampung atau tetap di Jakarta. Jika sudah begini, panggilan dari bang Mul akan datang.

“Bro, masih di Jakarta” kata salah satu penghuni MPT Camp

“Masih,”

“Nanti ngopi di TIM yah,”

“Iya”

Malam takbiran di TIM. Karena malam terakhir, plantaran Tim penuh. Kalau mau cuci mata, bisalah melirik kira dan kanan. Kami anak-anak mabes cikini memilih tempat di tengah-tengah plantaran TIM. Karena luas dan bisa duduk melingkar.

Bang Mul dan anak-anak MPT Camp datang. Tanpa ragu, bang Mul duduk diatas bekas spanduk. Ikut melingkar dan menikmati kopi saset dengan gelas plastic. Bagiku, bang Mul itu keren. Tidak ada pembatas antara Ketua Umum PB HMI dengan anggota biasa.

“Sabar-sabar di rantau. Abang juga lama merantau. Aktifis harus kuat mental,” kata Bang Mul.

Sebelum meninggal para perantau baru yang mengadu nasib lebaran di Jakarta. Salah satu teman menarik pundak dan menyalamiku.

“Dari Bang Mul,”

Wah, THR Double. Selama bang Mulyadi menjadi Ketum. Rasanya kami selalu mendapatkan THR tambahan. Jadi, engga perlu rebut-ribut di THR PB HMI.

Pemaaf

Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang angina yang menerpa. Kalau takut akan ombak, jangan mendirikan rumah ditepian pantai. Bang Mulyadi adalah manusia biasa. Kadang ada saja yang membuatnya marah.

Suatu waktu dia keluar dari kantor PB saat aku baru saja sampai disana. Dia terlihat kesal. Dengan gerak cepat, teman-teman membawa Bag Mul ke MPT Camp. Entah bagaimana, aku mengikuti mereka. Dari dekat dengan suara yang bergetar, bang Mul menyemprot ku.

“Kalian ini bagiamana. Bilang sama Uda mu itu, sudah ngopi-ngopi tadi malam. Koq sekarang main lapor polisi,”

Aku tidak ingat betul kejadiannya. Tetapi, waktu itu ada kawan yang melaporkan bang Mul. Laporan kepolisian itu dibuat oleh sesame pengurus besar. Padahal, aku mendengar, mereka sudah membicarakan masalah itu malam sebelumnya.

Butuh waktu beberapa saat untuk semua reda. Bang Mul sadar bahwa aku bukan bagian dari para pelapor. Wajahnya sudh mulai melunak. Dengan sedikit santai, dia mulai mendidik ku.

“Dek, jika suatu saat kamu ada masalah. Atau orang lain membuatmu kena masalah. Usahakan untuk ngobrol dulu. Jangan main lapor ke polisi. Tidak ada masalah yang tidak selesai. Jangan terlalu politis,” ujarnya.

Aku tidak tahu bagaimana menyampaikan pendapat. Pada saat itu, suasana sunyi. Padahal orang begitu ramai. Baru kali itu aku melihat Bang Mulyadi marah. Tetapi, dia cepat berdamai dengan hatinya. Begitu hati-hati, Bang Mulyadi mengakhiri keresahan semua orang dengan makan-makan atau nonton film terbaru di bioskop.

Selama menjadi pengurus, selalu ada hiruk pikuk berorganisasi di PB HMI. Kadang perbedaan pendapat berujung pertengkaran. Ada juga yang menggunakan suara keras. Bahkan saat Bang Mulyadi masih bicara, ada saja peserta rapat yang seenaknya berprilaku sok jagoan dan merasa punya kekuasaan gerbong.

“Nanti juga ngomong baik-baik lagi,”

Begitu jawaban Bang Mulyadi saat aku menanyakan bagaimana perasaanya. Meskipun tidak sopan, Bang Mul tidak langsung membenci orang-orang yang bandel tersebut. Kadang, dia hanya diam sembari menunggu. Benar kata Bang Mulyadi, orang itu kadang mendatangi Bang Mul untuk meminta bantuan.

Bang Mulyadi, tanpa harus menerima permohonan maaf, dia sudah memafkan.

Dialog Imajiner

“Dek, kamu lagi dimana?”

“Masih disini bang Mul”

“Jangan jauh-jauh dari perkaderan yah”

“Iyah bang, emangnya abang mau kemana?”

“Abang engga kemana-mana, Abang hanya pergi keasal kita”

“Apakah itu semua benar bang”

“Jangan lupa dek, Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) Dan Keharusan Universal (Takdir),”

“Ingat ya, sabar dalam proses dan terus belajar”

Salah satu cara mengajari orang adalah dengan memberikan contoh. Bang Mulyadi mencontohkan kesederhanaan dengan tidak banyak meminta apapun saat berada di daerah. Abang mencontohkan bagiaman memimpin saat difitnah dan dikerjain pengurus. Abang mencontohkan bagaimana tetap berbagi pengetahuan tanpa meminta menghina genera muda. Abang mencontohkan kepedulian dengan tetap menyediakan rumah bagi perantau-perantau dan pengurusmu. Abang mencontohkan cara terbaik untuk kaderisasi politik dan mendukung semua adek-adekmu. Abang itu orang baik, aku sungguh-sungguh bersaksi atas kebaikanmu bang.

6
$ 6.51
$ 6.39 from @TheRandomRewarder
$ 0.05 from @mommykim
$ 0.05 from @Crackers
+ 1
Sponsors of andrianlover
empty
empty
empty
Avatar for andrianlover
3 years ago
Topics: Community

Comments

Did Bang Mulyadi died on that plane crash or what. He taught you a lot sir Base on what I read and undertstands he is a brother whom you thought is influenced by political aspect instead he is a brother who often helps his younger siblings

$ 0.00
3 years ago