Kesejahteraan Pahlawan Demokrasi

0 32
Avatar for andrianlover
1 year ago

Pahlawan Demokrasi bukan gelar yang diberikan oleh Presiden secara khusus dengan keputusan atau piagam. Meskipun politik hukum pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009. Meskipun tidak ada yang mengusulkan. Pahlawan Demokrasi tetap ada dalam catatan sejarah panjang pengabdian menyelenggarakan prosedur peralihan kepemimpinan nasional yang konstitusional. Pahlawan Demokrasi bukan status yang diterima melalui seleksi oleh para hali. Pahlawan Demokrasi bukan juga orang dengan jabatannya untuk mengisi media cetak, online, maupun media sosial.

Dari sudut pandang pengabdian warga negara kepada bangsa ini dalam kerja-kerja demokrasi prosedural. Pahlawan Demokrasi adalah seluruh penyelenggara pemilu tingkat adhoc. Mereka mengabdikan diri untuk demokrasi. Bekerja dengan sepenuh jiwa, pikiran, dan hati. Mereka mengeluarkan biaya untuk seleksi dan menerima upah yang tidak sebanding dengan keras dan beratnya pekerjaan.

Pahlawan Demokrasi ini adalah mereka yang harus mengantarkan jiwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam situasi melaksanakan tugas dan tanggung jawab pekerjaan. Penyelenggara pemilu tingkat ad hoc ini meninggalkan semua kegiatan untuk mengambil peran dalam menentukan proses teknis pemilihan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan Kepala Daerah.

Kenyataan pahit yang terpaksa kita terima. Jika penyelenggara pemilu tingkat ad hoc meninggal. Mereka meninggalkan keluarga dalam tangis dan menunggu pimpinan untuk iuran demi mengumpulkan sumbangan. Selama ini, kebijakan keuangan hanya berasal dari ada kejadian tragis yang memunculkan semangat persaudaraan. Lalu, kegiatan pengumpulan dana duka dengan waktu tertentu untuk menghormati keluarga dari Pahlawan Demokrasi.

Penyelenggara Pemilu Ad Hoc

Dalam kajian manajemen penyelenggara pemilu, birokrasi kepemiluan membagi dua kategori penyelenggara pemilu, yaitu permanen dan ad hoc. Penyelenggara pemilu permanen adalah perujudan dari perintah konstitusi sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permanen adalah kata yang menggantikan kalimat Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Penafsiran Pasal 22E ayat (5) UUD menerangkan kelembagaan penyelenggara pemilu yang permanen adalah KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Sedangkan birokrasi permanen untuk pengawas pemilu baru dipertegas pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.

Bentuk kedua dari birokrasi kepemiluan adalah penyelenggara pemilu sementara yang lebih dikenal dengan penyebutan penyelenggara pemilu adhoc. Politik Hukum Pemilu menerangkan penyelenggara pemilu ad hoc dengan penamaan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) serta KPPS Luar Negeri.

Selanjutnya, Hukum Pemilu juga membagi pangawas adhoc dalam birokrasi Bawaslu. Pangawas adhoc tersebut antara lain Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam), Panitia Pengawas Pemilu Kelurahan/Desa, Panitia Pengawas Pemilu Luar Negeri (Panwaslu LN), dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara (Pengawas TPS).

Untuk menjadi penyelenggara pemilu adhoc, warga negara Indonesia harus mematuhi pembatasan hak asasi yang diatur secara administratif. Syarat itu seperti KTP dan surat pernyataan atau surat keterangan yang diatur dalam UU Pemilu, Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu.

Modal Untuk Bekerja

Sesuai amanah konstitusi, setiap orang berhak untuk ikut serta dalam pemerintahan. Penafsiran teknis kepemiluan dari amanah konstitusi adalah kesempatan yang sama untuk mendaftar sebagai penyelenggara pemilu, baik permanan maupun ad hoc. Kesempatan yang sama ini ditentukan dalam seleksi administratif dan teknis lainnya.

Dengan demikian, kesempatan yang sama tidak bisa menjamin hak untuk bekerja yang ditetapkan dalam Surat Keputusan. Ada batasan jumlah penyelenggara pemilu sesuai tingkatan kerja. Dari sudut pandang modal awal, tidak ada jaminan uang kembali jika kita dinyatakan gagal dalam tahapan seleksi penyelenggara pemilu.

Padahal, khusus calon penyelenggara pemilu ad hoc, warga negara harus mengeluarkan biaya yang lumayan. Ada konsekuensi logis dari proses seleksi seperti biaya fotokopi KTP yang kisaran beberapa ratus rupiah sesuai dengan domisili tempat tinggal. Kita harus mengeluarkan biaya untuk membeli bahan bakar minyak sesuai moda tranportasi yang digunakan.

Biaya transportasi ini dikeluarkan untuk mendapatkan Surat Keterangan Kesehatan dari Puskesmas atau Rumah Sakit, fotokopi dan legalisasi ijazah, keterangan tidak pernah dipidana, bebas dari penyalahgunaan narkoba, dan administrasi lainnya.

Pertanyaannya, berapa nominal gaji/upah yang diberikan negara kepada penyelenggara pemilu adhoc? Sesuai tingkatan kerja penyelenggara adhoc, ada perbedaan ketetapan honor yang diatur Menteri Keuangan. Untuk menerangkan kondisi ini, kita bisa melihat informasi yang disebarkan KPU.

Jika kita membaca data Pemilu 2019, PPK menerima honor paling tinggi Rp1.850.000 bagi Ketua PPK dan, Anggota PPK menerima Rp1.600.000, Sekretaris PPK menerima Rp1.300.000 dan yang paling rendah untuk jabatan pelaksana PPK senilai Rp850.000. Honor untuk PPS dibagi, Rp900.000 untuk Ketua PPS, Rp850.000 untuk anggota PPS, Rp800.000 untuk Sekretaris PPS, dan Rp750.000 untuk pelaksana. Lalu, Rp8000.000 untuk Pantarlih. Dalam tingkatan KPPS, ketua menerima Rp550.000, anggota menerima Rp5000.000, dan Satlinmas menerima Rp500.000.

Sedangkan untuk tahapan Pilkada Serentak 2020, PPK menerima honor dengan pembagian Rp2.200.000 untuk ketua, Rp1.900.000 untuk anggota, Rp1.550.000 untuk sekretaris, dan Rp1.000.000 untuk pelaksana. Honor untuk PPS Pilkada 2020 dibagi, Rp1.200.000 untuk ketua, Rp1.150.000 untuk anggota, 1.100.000 untuk sekretaris, dan 1.000.000 untuk pelaksana. Pantarlih Pilkada menerima Rp1.000.000. KPPS saat Pilkada 2020 menerima honor, Rp900.000 untuk ketua, Rp850.000 untuk anggota dan Rp650.000 untuk satlinmas.

Nyawa Demi Demokrasi

Setelah membaca besaran uang negara yang diberikan kepada badan adhoc penyelenggara pemilu. Kita harus membaca ‘apa yang tidak dijamin negara’ kepada mereka. Badan adhoc juga tidak menerima dana dalam ketegori ‘Santunan Kecelakaan Kerja’. Dalam artian lain, apapun yang terjadi, negara tidak bertanggung jawab kepada badan adhoc. Sakit, kecelakaan, dan kematian menjadi tanggungan pribadi bagi badan adhoc.

Seketika kita akan mengulang ingatan pilu pada Pemilu Serentak 2019. KPU menyampaikan data yang menyedihkan di berbagai media sekitar Januari 2020 lalu. Ketua KPU Arief Budiman pada saat itu membagi kabar duka. Katanya, ada 894 petugas KPU yang meninggal dan 5.175 petugas yang sakit saat melaksanakan tugas menyelenggarakan Pemilu 2019. Kompas juga menyajikan data dari Kementerian Kesehatan yang mengumpulkan informasi dari Dinas Kesehatan ditiap provinsi. Catatan tersebut mengungkapkan fakta 11.239 orang KPPS yang sakit korban meninggal 527 jiwa.

Akibat korban jiwa yang tinggi dari pihak penyelenggara pemilu selama menjalankan tugas. Maka, Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan inisiasi dari Fakultas ISIPOL, Fakultas KKMK, Fakultas Psikologi, dan Fakultas Geografi menyelenggarakan kajian lintas disiplin yang hasilnya disebarkan secara luas pada 25 Juni 2019. Kesimpulan kajian atas Meninggal dan Sakitnya Petugas Pemilu 2019 antara lain dikarenakan rerata beban kerja petugas KPPS sangat tinggi sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan.

Lalu, ada dampak beban kerja yang terlalu tinggi dan riwayat penyakit sebelumnya menjadi penyebab atau meningkatkan risiko terjadinya kematian dan kesakitan di antara Petugas Pemilu. Selain itu, Tim Lintas Disiplin UGM menemukan berbagai persoalan psikologis seperti kecemasan dan reaksi stres fisik yang dialami oleh para Petugas Pemilu, baik pada kelompok sehat maupun sakit. Permasalahan psikologis ini di antaranya terjadi karena tingginya keterlibatan kerja para petugas dengan beban kerja yang berlebihan, sehingga mengakibatkan kelelahan yang cukup tinggi. Khususnya pada kelompok petugas yang sakit, tuntutan lingkungan kerja yang tinggi menyebabkan adanya kecenderungan terjadi kelelahan secara fisik dan kecemasan.

Akan tetapi, APBN yang ditujukan dalam Daftar Isian Penggunaan Anggaran KPU tidak memiliki anggaran untuk santunan bagi korban jiwa yang tinggi pada Pemilu 2019. Oleh karena itu, KPU ‘terpaksa’ memohon uang negara untuk memberi santunan kepada keluarga dari ratusan jiwa yang meninggal dan sakit. Pada akhirnya, Menteri Keuangan ‘bersedia’ untuk menganggarkan jumlah santunan.

Surat Menteri Keuangan membagi jumlah santunan dalam beberapa kategori. Rp36.000.000 untuk korban meninggal. Lalu, korban cacat menerima Rp16.500.000 dan korban luka menerima Rp8.250.000.

Tidak Banyak Tetapi Cukup

Tidak ada yang tega merencanakan timbul korban jiwa, sakit atau luka-luka. Tetapi, administrasi menjadi penghalang untuk ‘kehadiran negara untuk warga negara’. Berkaca dari pengalaman Pemilu 2019, KPU bergerak lebih cepat untuk mitigasi risiko dalam potensi badan adhoc atau petugas KPU yang meninggal, sakit, maupun mengalami kecelakan saat menjalankan tugas untuk menjamin kesuksesan pelaksaan Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024.

Kabar baik yang diterima KPU dari Surat Menteri Keuangan mengubah honor dan jumlah santunan. Surat Menkeu N0.S-647/MK.02/2022 pertanggal 5 Agustus 2022 menyetujui kenaikan honor bagi badan adhoc untuk Pemilu dan Pilkada 2024. Kabar baik untuk PPK dalam anggaran Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 menerima honor Rp2.500.000 bagi ketua, Rp2.200.000 bagi anggota, Rp1.850.000 bagi sekretaris dan Rp1.300.000 bagi pelaksana.

Selanjutnya, pembagian honor yang diterima PPS antara lain, Rp2.500.000 bagi ketua, Rp1.500.000 bagi ketua, Rp1.300.000 untuk anggota, Rp1.150.000 bagi sekretaris, dan Rp1.050.000 untuk pelaksana. Surat Menkeu itu juga memberi tahu honor yang akan diterima KPPS. Ada sedikit perbedaan bagi honor KPPS dalam pengaturan anggaran Pemilu dan Pilkada 2024. KPPS yang bekerja dalam ruang lingkup Pemilu 2024 menerima honor sebanyak, Rp1.200.000 bagi ketua, 1.100.000 bagi anggota, dan Rp700.000 bagi satlinmas. Dilain sisi, honor yang diterima KPPS dalam tugas Pilkada 2024 yaitu, Rp900.000 bagi ketua, Rp850.000 bagi anggota, dan Rp650.000 bagi satlinmas.

Setelah perjuangan panjang untuk meyakinkan pemerintah. KPU akhirnya menerima kepastian untuk santunan kecelakaan kerja bagi badan adhoc. Keluarga dari korban meninggal akan menerima santunan Rp36.000.000. Petugas yang catat permanen akan menerima santunan senilai Rp30.800.000. Petugas yang luka berat menerima santunan Rp16.500.000 dan luka sedang menerima Rp8.250.000. Sedangkan untuk biaya pemakanan dinilai dengan Rp10.000.000 perorang.

Dengan keputusan ini, setiap petugas pemilu langsung menerima santunan sepanjang memenuhi syarat administrasi. Hal ini berbeda dengan kejadian Pemilu 2019. Waktu itu, KPU harus mengusulkan, kemudian pemerintah mengabulkan anggaran untuk santunan. Saat ini, perjuangan KPU sudah cukup dalam memenuhi niat baik perhatian negara kepada warga negara yang bekerja sebagai badan adhoc.

Akan tetapi, kita tidak berharap ada pemotongan anggaran akibat revisi dengan alasan apa pun. Selama Indonesia tidak dalam kondisi perang maupun bencana alam serentak nasional. Kita berharap tidak ada revisi pengurangan, tetapi revisi peningkatan untuk jaminan keselamatan kerja bagi seluruh petugas pemilu di setiap tingkatan.

Andrian Habibi

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang, Deputi Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia dan Anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)

1
$ 1.42
$ 1.42 from @TheRandomRewarder
Sponsors of andrianlover
empty
empty
empty
Avatar for andrianlover
1 year ago

Comments